Suku Bima

Bima
Dou Mbojo[1]
Orang Bima (awal abad ke-20)
Jumlah populasi
ca 510.000 (2000)[2]
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Pulau Sumbawa)
Bahasa
Bima (Donggo, Tarlawi, dan Kolo), Indonesia
Agama
Islam (mayoritas)[3]
Kelompok etnik terkait
Sumbawa, Sasak

Suku Bima atau Mbojo adalah kelompok etnis yang mendiami Pulau Sumbawa bagian timur, sekarang tempat bermukimnya orang Bima terbagi menjadi tiga bagian secara administratif, yaitu Kota Bima, Kabupaten Bima, dan Kabupaten Dompu. Istilah "Mbojo" dipergunakan untuk menyebut kata 'Bima' dalam bahasa Bima (nggahi Mbojo). Begitupun sebaliknya, istilah Bima digunakan untuk menyebut kata "Mbojo" dalam bahasa Indonesia. Istilah Mbojo juga biasa digunakan sebagai istilah orang Mbojo atau dou Mbojo.[4]

Sejarah

Secara historis orang Bima dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok penduduk asli (dou Donggo) dan kelompok orang Bima (dou Mbojo).

Dou Donggo

Kelompok ini menghuni kawasan bagian barat teluk, tersebar di gunung dan lembah. Dari penelitian Zollinger (1847) diketahui bahwa suku Donggo (Donggo Di) dan penduduk Bima di sebelah timur laut Teluk Bima (Donggo Ele) menunjukkan karakteristik yang jelas sebagai etnis dengan budaya masih sederhana, kecuali beberapa corak yang menunjukkan kesamaan dengan orang-orang Bima di sebelah timur Teluk Bima. Sedangkan penelitian Elber Johannes (1909-1910) menyimpulkan pada dasarnya orang Bima yang tinggal di sekitar ibu kota sudah memiliki budaya lebih maju, selain itu ada pula kelompok campuran yang terbentuk dari interaksi dengan orang Bugis dan Makassar. Penelitian terhadap anggota masyarakat Bima yang lebih tua menunjukkan suatu kecenderungan persamaan dengan orang sasak Bayan di Lombok. Orang Donggo dan Sasak Bayan memiliki kesamaan ciri yaitu berambut pendek bergelombang, keriting, dan warna kulit agak gelap.[5]

Dou Mbojo

Kelompok ini menghuni kawasan pesisir pantai. Orang Bima merupakan suatu ras bangsa campuran dengan orang Bugis-Makassar dengan ciri rambut lurus sebagai orang Melayu di pesisir pantai. Dalam pencatatan Kitab BO, bahwa para "ncuhi" berasal dari Hindia Belakang (Indocina) sebagai asal usul dari penduduk di pesisir pantai. Banyak kata benda dalam bahasa Bima yang memiliki persamaan dengan bahasa Jawa Kuno, utamanya yang masih dipergunakan oleh sisa penduduk asli yang tersimpan dalam bahasa Donggo, bahasa Tarlawi, dan Bahasa Kolo. Hanya kadang-kadang pengucapannya sudah berubah atau pengucapannya tetap tapi artinya berbeda. Perubahan tersebut terjadi karena hubungan yang sulit atau terputus sehingga komunikasi antar penduduk induk sumber bahasa terputus pula. Akibatnya pengucapan atau arti bahasa asli tesebut berkembang dalam corak yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Contoh persamaan bahasa Bima dengan bahasa Jawa Kuno antara lain:

Bahasa Bima Bahasa Jawa Kuno Bahasa Indonesia
Ama Ama Ayah
Imba Imba Meniru
Uma Umah Rumah
Kica Kica Kera
Kuta Kuta Pagar
Jaga Jaga Jaga
Joli Joli Usungan
Ringa Renga Dengar
Teta Teta Ayah
Do’o Dooh Jauh

Bahasa

Menurut sejarah perkembangannya, bahasa Bima dibagi dalam 2 kelompok yaitu:

  • Kelompok bahasa Bima lama, yaitu bahasa Donggo, dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ipa yang bermukim di pegunungan sebelah barat teluk meliputi desa Kala, Mbawa, Padende, Kananta, dan Doridungga. Bahasa Tarlawi dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ele yang bermukim di pegunungan Wawo Tengah, meliputi desa Tarlawi, Kuta, Sambori, Teta, dan Kalodu. Bahasa Kolo dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di desa Kolo di sebelah timur Asakota.
  • Kelompok bahasa Bima baru, lazim disebut nggahi Mbojo. Bahasa Bima baru dipergunakan oleh masyarakat umum di Bima dan berfungsi sebagai bahasa ibu. Bagi masyarakat Bima lama, bahasa Bima berfungsi sebagai bahasa pengantar guna berkomunikasi dengan orang lain di luar kalangan mereka.

Aksara bahasa Bima banyak persamaan dengan aksara Makassar Kuno dan apabila kedua aksara tersebut dibandingkan dengan aksara Sanskerta, maka dapat dipastikan asal usul keduanya berasal dari aksara Sanskerta (Zollinger).

Menurut tingkatannya bahasa Bima dibagi dalam 3 tingkat, yaitu tingkat halus/bahasa istana, tingkat menengah yaitu bahasa sehari-hari dan tingkat rendah/kasar.

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Hitchcock (1995), hlm. 239.
  2. ^ Suryadinata, Arifin & Ananta (2003), hlm. 23.
  3. ^ Hitchcock (1995), hlm. 245.
  4. ^ Tajib, Abdullah. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta: PT Harapan Masa PGRI.
  5. ^ [1] Nurjannah et al. 2017. Analisis Ciri Khas Pola Kehidupan Sosial Masyarakat Suku Donggo: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Budaya